Donald Trump: “Islam Itu Biang Masalah, Islam itu Berbahaya!”
Setelah memposting kekecewaannya atas kehadiran para pimpinan DPR RI Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua Fadli Zon, Imam Sahmsi Ali lebih jauh membuka latar belakang kekecewaan itu.
Menurut mantan Imam Besar Masjid New York, AS, itu, ia pernah berjumpa dengan Trump dan mendapati calon presiden AS dari Partai Republik itu telah lama memelihara kecenderungan kebencian terhadap Islam.
Berikut postingan lengkap Imam Shamsi Ali:
"Sekitar tiga tahun lalu saya dikejutkan oleh sebuah wawancara Fox News bersama Donald Trump (DT), raja properti Amerika Serikat. Dalam wawancara itu DT ditanya pendapatnya tentang Islam dan komunitas Muslim Amerika.
Sungguh jawaban DT sangat mengejutkan sekaligus menyakitkan. "Islam itu masalah. Dan komunitas Muslim itu berbahaya", kata DT saat itu.
Mendengar itu saya cukup tersinggung. Keberadaam saya di Amerika dalam masa hampir 20 tahun saya berusaha membuktikan bahwa Islam dan Muslim itu adalah bagian integral dari Amerika. Saya berjuang menjadikan Islam sebagai agama kontributor kebaikan bagi Amerika. Memperjuangkan dengan segala risikonya untuk menjadikan Amerika dan Islam tidak berada di posisi berseberangan.
Sejak kedatangan saya ke negara ini dan menjadi penduduk tetap (permanent resident) salah satu kegiatan prioritas utama saya adalah membangun komunikasi dan kerja sama dengan semua pemeluk agama, termasuk komunitas Yahudi. Lalu di mana letak masalahnya Islam dan bahayanya komunitas Muslim?
Kebetulan saya dekat dengan seseorang di kalangan Hollywood, raja hip hop (hip hop mogul), Russel Simmons. Mantan suami Kimmora Lee ini adalah seorang bisnisman yang juga aktivis. Ia juga sering kali tampil membela hak-hak minoritas yang termarjinalkan, termasik warga hitam, Hispanic dan Muslim.
Saya meminta beliau untuk mencoba mengatur pertemuan dengan Donald Trump. Ternyata dia juga mendengar wawancara itu dan gerah dengannya. Maka dengan senang hati dia menghubungi kantor DT yang ternyata sangat senang akan ditemui oleh seorang Imam.
Tibalah hari H-nya pertemuan itu. Selain Russel Simmons dan saya juga hadir bersama seorang Rabbi Yahudi berpengaruh yang juga selalu membela Islam, Rabbi Marc Scheneier.
Setiba di kantor DT, Trump Tower, di kawasan 5th Avenue, kami bertiga disambut oleh DT di depan lift. Dengan ramah menyambut dua teman saya. Yapi masih melongok ke depan mencari-cari sesuatu atau seseorang. Ketika ditanya oleh Russel apa gerangan yang dicari, dijawabnya: "Where is the Imam"?
Russell kemudian menunjuk ke bawah karena memang saya rendah. DT kemudian baru menengok ke bawah dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Sekali lagi Russell bertanya kepadanya kenapa tertawa terbahak-bahak? DT menjawab: "I had never dreamt that I will meet a smiling Muslim" (saya tidak pernah bermimpi untuk ketemu dengan seorang Muslim yang tersenyum).
Mendegar itu terus terang saya agak tersinggung. Sebab saya yakin saya lebih sering tersenyum dibanding Donald Trump. Dan kemungkinan juga senyuman saya lebih menarik dari senyuman seorang DT (hehehe).
Kami pun duduk di kantor DT. Sebuah kantor yang dipenuhi gambar wanita-wanita cantik, koleksi miss universe, dan bahkan beberapa gambar wanita-wanita playboy bersama DT. Saya kemudian memulai memberanikan diri berbicara dan menanyakan, "Dari mana gerangan DT berkesimpulan jika orang-orang Islam itu tidak tahu tersenyum"?
Sesaat semua terdiam mendengar pertanyaan saya itu. Tapi Donald Trump kemudian dengan sedikit serius menjawab, "Itulah yang selalu saya saksikan di televisi-televisi". Jawaban singkat DT ini kembali mengusik saya.
Saya sedikit mengubah posisi diduk dan mengatakan: "Mr. Trump, sungguh sebelum saya datang ke kantor Anda dan bertemu Anda, saya ada kesimpulan negatif tentang Anda. Sangkaan saya itu, Anda adalah orang yang angkuh. Ternyata setelah ketemu Anda, menyambut kami dengan senyuman dan bercanda, saya mendapati anda sebagai orang ramah."
"Seandainya saya mengambil kesimpulan tentang orang besar seperti Anda dari televisi atau media, alangkah naifnya. Sungguh naif juga jika mengambil kesimpulan tentang 1,6 miliar manusia, Muslim, hanya dari televisi atau media".
Setelah pernyataan saya itu DT hanya banyak diam dan mendengarkan. Tapi sebenarnya yang paling bersemangat menyerang DT adalah Russell Simmons. Nampaknya beliau sebagai Afro American gerah juga dengan sikap DT terhadap komunitas berkulit nonputih.
Russell bertanya begini misalnya: "Donald, had you ever read about Islam? Had you ever read the holy Quran, the Muslims holybook?".
Donald hanya mengangguk mendengar itu. Lalu disambut oleh Russell berikut, "Kalau begitu kamu tidak punya hak sama sekali untuk berkomentar mengenai Islam".
Bahkan Russell sempat mengatakan: "Your attitude is absolutely un-American".
Selama pertemuan yang memakan waktu sekitar sejam itu, memang terasa intens walau diselingi candaan. Yang pasti dengan pertemuan itu kami dapat mengukur kedalaman pemahaman DT tentang berbagai masalah, bahkan dalam hal ekonomi dan bisnis.
Di akhir pertemuan itu teman saya, Rabbi Marc Schneier menawarkan jika DT ingin berkunjung ke masjid. Dia hanya tersenyum dan menjawab, "Next time!"
Sejak itu memang DT hampir tidak pernah lagi berbicara mengenai Islam. Tapi pendukung fanatik DT adalah mereka yang saat ini sedang mengalami euphoria untuk mengalahkan Barack Obama (presiden non-putih). Mereka rata-rata anti-Islam secara khusus, dan imigran secara umum.
Oleh karenanya ketika seorang pejabat tinggi dari sebuah negara Muslim terbesar dunia menemui DT di saat-saat suasana kampanye memanas sangat disayangkan.
Bagi kami, terpilihnya seorang presiden terkait dekat dengan kenyamanan hidup kami. Komunitas Muslim di Amerika cukup traumatis dengan presiden yang memiliki persepsi salah, atau boleh jadi kebencian, terhadap Islam dan pengikutnya. Cukuplah selama 8 tahun di bawah presiden G.W Bush komunitas ini ditekan sedemikian rupa.
Apalagi DT memang sosok yang sangat kontroversial, khususnya terhadap isu imigran gelap. Padahal diaku atau tidak Amerika memang sejarahnya adalah negara imigran gelap, termasuk mereka yang datang dari Eropa. Tentu termasuk Donald Trump sendiri!
New York, 3 September 2015.
INILAH
0 comments:
Post a Comment