Surat Edaran “Hate Speech”, Perlukah Sertifikasi Para Khotib?


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxe2yBY4MW6R8d3XB4WmUNG-BVpl0pZmNb-xOov5D5_AT2h84ncqpDMt0ewXAGqMbtavFgvruQADYPQvwNi2-wN3Oi-4-21gScTTQQPGwF6l_enaiMJmd-O2AWZY3jKIglKdFdFnJi0JmC/s1600/khutbah-jumat.jpg

Ketua Departmen Penerangan Kalam UPI 2013

PADA akhirnya pengaturan ujaran kebencian ‘hate speech’ kembali menjadi pembahasan. Hal ini dilatar belakangi oleh kembali merebaknya fenomena ‘hate speech’ di tengah masyarakat. “Menurut Surat Edaran (SE) Kapolri No SE/06/X/2015 tentang penanganan ‘ujaran kebencian’ (hate speech) di ranah publik.
Ada tujuh bentuk ujaran kebencian disebut dalam SE: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong.

 Semua tindakan ini memiliki tujuan atau berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial” (Azra A. (5 November 2015), “Kebencian dan Kebebasan”. Kolom Resonansi, Republika.).

Adapun solusi yang diusulkan oleh penulis resonansi tersebut dalam penanganan fenomena ‘hate speech’ ini ialah perlunya sertifikasi Khutbah dan ceramah. Sebagaimana yang dilakukan di negeri-negeri mayoritas muslim lain, sehingga pemerintah dapat mengontrol para pelaku ujaran kebencian yang menyalah gunakan kebebasan khutbah agama di atas mimbar.

Menurutnya, sertifikasi ini tidak melanggar kebebasan berekspresi karena batasan pelanggaran berekspresi dikembalikan pada prinsip kebebasan berpendapat, sebagaimana tercakup dalam SE Kapolri.

Sayangnya di dalam tulisannya, penulis tidak menjelaskan bagaimana kaitan antara khutbah penebar ‘kebencian’ itu dengan aktifitas kekerasan massa. Masih perlu dipertanyakan perihal apakah benar tindakan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan konflik sosial itu disebabkan oleh muatan khutbah keagamaan yang penuh kebencian?

Ataukah ada faktor lain? Insiden seperti apa yang lahir dari ‘hate speech’ ini? Terlebih penulis mengaburkan fenomena khutbah ‘kebencian’ tersebut dengan klaim yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang otentik (unsupported claim).

http://images.detik.com/content/2011/11/06/157/Panglima-TNI-2.jpg

Lantas apakah dengan disahkannya sertifikasi para penceramah mampu membendung fenomena ‘hate speech’? Faktanya, ‘hate speech’ juga terjadi di media massa, media sosial, dan tempat-tempat lain. Sedangkan penanganan sertifikasi khatib dan penceramah seolah menjadi alasan untuk hanya membatasi ruang khutbah. Sebagaimana di masa Orde Baru.

Kemudian beliau juga berpendapat bahwa Al Qur’an seyogyanya melarang ujaran kebencian. Akan tetapi apabila merujuk kepada SE tersebut, justru banyak ayat-ayat al Quran yang melanggar batasan ‘hate speech’.

Simaklah ayat berikut ini, “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” [QS. 8:39]; juga ayat, “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” [QS. 98:6]; dan ayat-ayat lain yang bernada sejenis. Maka apabila kita menilai ayat ini dengan SE Kapolri, maka ayat-ayat tersebut telah memenuhi kriteria ‘hate speech’ yang dimaksud. Fenomena ini jelas bertentangan dengan keinginan dan maksud Pak Azra tentunya.

Oleh karena itu, bagi seorang muslim, Islam sajalah yang harus dijadikan standar atau acuan berpikir dan menilai setiap fenomena. Islam melarang menjadikan baik-buruk serta benar-salah berdasarkan pendapat mayoritas manusia.

Allah Swt berfirman di dalam al Qur’an yang mulia, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” [QS. 6:116].

Karena itu, Islam menjadikan sumber kebenaran milik Allah semata, maksudnya segala hal yang berasal dari-Nya, baik itu Kitabullah dan Sunnah Rasululah.

Oleh karena itu, satu-satunya pembelaan terhadap islam sejatinya bukanlah memaksakan logika orang banyak terhadap islam. Melainkan menyadarkan orang banyak dengan cara berfikir islami. Sehingga apa yang dilakukan dan diupayakan oleh Bapak sejatinya dapat menemukan titik terang dalam perjuangan identitas sebagai muslim.

Lalu berkaitan dengan ‘hate speech’, Islam memiliki solusi tersendiri. Apabila ‘hate speech’ tersebut dilatarbelakangi kebencian atau ketidaksukaan terhadap individu. Baik terhadap individu penguasa, ormas, umat seagama, maka penyelesaiannya harusah melalui jalur hikmah, dengan nasehat.

Karena di satu sisi, kita diperintahkan untuk tidak menyebarkan aib orang lain, terutama saudara seiman. Namun apabila fenomena tersebut dilatari oleh kedzaliman penguasa berkaitan dengan pengaturan urusan masyarakat –menyangkut kebijakan politik, ekonomi, jaminan kesejahteraan, dll-.

Maka Islam memperbolehkan kritik secara terbuka, dengan ketentuan bahwa yang dikritik adalah masalah kebijakan bukan masalah diri individu. Bahkan orang yang melakukannya dianggap telah melakukan jihad yang paling utama.

Rasulullah Saw bersabda, “Jihad yang paling utama adalah mengatakan kalimat hak dihadapan penguasa yang dzalim.

[1]”; di hadis lain disebutkan, “Penghulu syuhada adalah Hamzah bin Abdul uthalib, dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.

[2]”. Kritik terhadap penguasa adalah hal yang wajar di dalam islam karena islam menjadikan pemimpin sebagai abdi rakyat bukan abdi dinar, abdi hawa ataupun abdi Amerika.

Keteladanan tersebut dapat kita lihat pada Masa Umar Bin Khattab, misalnya. Beliau adalah salah satu  pemimpin yang tidak takut menghadapi kritikan rakyat, bahkan cacian sekalipun. Karena bagi Umar, dirinya adalah tempat aduan masyarakat, jika ada masyarakat yang mengadu bahkan sampai mencaci dirinya hal itu karena ada kebijakan yang salah.

Inilah yang membuat Umar menjadi sosok yang sangat bijaksana dan begitu penyayang terhadap rakyatnya. Fenomena ini –kritik, red.- berbalik menjadi hubungan baik antara penguasa dan masyarakat. Keduanya bersama membangun negeri karena saling memahami. Maka apabila masyarakat hari ini sering melakukan sumpah serapah terhadap penguasa, sejatinya penguasalah yang harus berintrospeksi. Adakah kebijakan yang salah dan merugikan masyarakat sehingga masyarakat berbuat atau berkata demikian?



Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

0 comments:

Post a Comment